Selasa, 30 Juni 2015

INFO PENYAKIT PATAH TULANG (FRAKTUR)


FRAKTUR

a. Definisi Fraktur
           Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis serta luasnya. Fraktur dapat disebabkan oleh adanya pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan puntir mendadak ataupun kontraksi otot ekstrim. Meskipun patah jaringan sekitarnya juga akan terpengaruh yang dapat mengakibatkan udema jaringan lunak, perdarahan keotot dan sendi, dislokasi sendi, ruptur tendo, kerusakan saraf dan kerusakan pembuluh darah. Organ tubuh dapat mengalami cedera akibat gaya yang disebabkan oleh fraktur atau fragmen tulang.

b. Jenis Fraktur
    1. Fraktur Komplet
        adalah patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami pergeseran dari posisi normal
2. Fraktur Tidak komplet
yaitu patah hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah tulang
3. Fraktur Tertutup ( simpel)
Yaitu fraktur yang tidak menyebabkan robeknya kulit
4. Fraktur Terbuka (komplikata atau kompleks)
merupakan fraktur dengan luka pada kulit adau membran mukosa sampai ke patahan tulang. Fraktur terbuka dibagi menjadi:
a.       Grade I dengan luka bersih panjangnya kurang dari 1 Cm
b.      Greade II luka lebih luas tanpa kerusaka jaringan lunak yang ekstensif.
c.       Grade III mengalami kerusakan jaringan lunak ekstensi yang sangat terkontaminasi dan merupakan yang paling berat.
Fraktur juga digolongkan sesuai pergeseran anatomis fragmen tulang: fraktur bergeser atau tidak bergaser. Berikut adalah berbagai jenis kusus fraktur:
â  Green stick. Fraktur dimana salah satu sisi tulang patah sedang sisi lainya membengkok.
â  Trasfersal. Fraktur sepanjang garis tengah tulang.
â  Oblik, fraktur membetuk sudut denga membentuk garis tengah tulang (lebih tidak stabil daibanding transfersal).
â  Spiral, fraktur memuntir seputar batang tulang.
â  Kominutiv, fraktur dalam tulang pecah menjadi beberapa fragmen.
â  Depresi, fraktur dengan fragmen patahn terdorong ke dalam (sering terjadi pada tulang tengkorak dan wajah).
â  Kompresi, fraktur dimana tulang mengalami kompresi ( terjadi pada tulang belakang).
â  Patologik, fraktur yang terjadi pada daerah tulang berpenyakit (kista tulang, penyakit paget, metstasis tulang, tumor).
â  Avolsi, tertariknya fragmen tulang oleh ligamen atau tendo pada perlekatannya.
â  Epifiseal, fraktur melalui ipifisis.
â  Impaksi, fraktur dimana tulang terdorong ke fragmen tulang lainnya.

c. Etiologi dan Faktor risiko
Etiologi fraktur:
1.      Cedera traumatik pada tulang
-          Cedera langsung : pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang patah secara spontan
-          Cedera tidak langsung : pukulan langsung berada jauh dari benturan
2.                                                            Fraktur patologi
Kerusakan tulang terjadi akibat proses penyakit dimana denagn trauma minor yang dapt mengakibatkan fraktur dapat terjadi pada tumor tulang, osteomilitis, osteomalasia.
            Faktor risiko fraktur
1. Faktor risiko biologi antara lain: osteoporosis, neoplasma, cushing syndrom, terapi kortison, penuaan, malnutrisi, osteogenesis imperfecta.
2. Aktivitas perilaku berisiko tinggi seperti skateboarding, skydiving, mountain    climbing,
3. Kekerasan anak dan dewasa meningkatkan kejadian terjadinya fraktur

d. Manifestasi Klinis
1.  Nyeri, terus menerus dan bertambah berat sampai fragme tulang di imobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk menimbulkan gerakan antar fragmen tulang.
2. Setelah fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak secara alamiah (gerakan luar biasa). Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstimitas yang bisa diketahui adengan membandingkan dengan ekstrimitas normal. Ekstrimitas tak dapat berfungsi denga baik karena fungsi normal otot tergantung pada integritas tulag tempat melengketnya otot.
3.  Pada fraktur panjang terjadi pemendekan tulang karena kontraksi otot yang melekat diatas dan bawah tempat fraktur.
4.  Saat diperiksa dengan tangan teraba derik tulang yang disebut krepitus akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya (uji kreptus dapat berakibat kerusakan jaringan lunak yang lebih berat)
5.  Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit karena trauma dan perdarahan  yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi setelahb eberapa jam atau hari.
      Tidak semua tanda dan gejala diatas terdapat pada setiap fraktur. Diagnosis fraktur tergantung pada gejala, tanda fisik, dan pemeriksaaan sinar X.

  1. Penatalaksanaan Kedaruratan.
Bila dicurigai adanya fraktur penting untuk mengimobilisasi bagian tubuh segera sebelum pasien dipindahkan bila pasien yang mengalami cidera harus dipindahkan dari kendaraan sebelum dapat dilakukan pembidaian, ekstrimitas harus disangga diatas dan di bawah tempat fraktur untuk mencegah gerakan rotasi/angulasi. Gerakan frgmen patahan tulang dapat menyebabkan nyeri, kerusakan jaringan lunak, dan perdarahan lebih lanjut. Nyeri dapat dikurangi dengan menghindari gerakan fragmnen tulang dan sendi sekitar fraktur. Pembidaian sangat penting untuk mencegah kerusakan jaringan lunak oleh fragmen tulang.
            Imobilisasi tulang panjang ekstrimitas bawah juga dapat dilakukan dengan membebat kedua tungkai bersama, dengan ekstrimitas yang sehat sebagai bidai bagi ekstrimitas yang cidera.
            Pada ekstrimitas atas lengan dapat dibebatkan pada dada atau lengan bawah yang cidera digantung pada sling. Pada fraktur terbuka luka ditutup dengan pembalut bersih atau steril untuk mencegah kontaminasi jaringan yang lebih dalam, jangan sekali-kali melakukan reduksi fraktur bahkan jika ada fragmen tulang melalui luka.

e.  Prinsip Penanganan Reduksi Fraktur
1. Reduksi fraktur, mengembalikan fragmen tulang  pada kesejajarannya dan rotasi anatomis.  Reduksi tertutup, fraksi, atau reduksi terbuka dapat dilakukan untuk mereduksi fraktur. Metode yang dipilih tergantung pada sifat fraktur tapi prinsip yang mendasari sama. Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur pasien harus dipersiapkan: ijin melakukan prosedur, analgetik sesuai ketentuan, dan persetujuan anestasi.
Reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang ke posisiya dengan manipulasi dan traksi manual.
2. Traksi, digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi yang disesuaikan dengan spsme otot yang terjadi.
3.  Reduksi terbuka, alat fiksasi internal dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku, atau batangan logam dapat digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya.
4. Imobilisasi Fraktur, setelah direduksi fragmen tulang harus di imobilisasi dan dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksternal (gips,pembalutan, bidai, traksi kontinyu, pin dan teknik gips atau fiksator eksternal) dan interna ( implant logam ).
5.  Mempertahankan dan mengembalikan fungsi, segala upaya diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dam imoblisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan. Status neuroveskuler ( mis. Pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan) dipantau dan ahli bedah ortopedi diberi tahu segera bila ada tanda gangguan neurovaskuler. Kegelisahan, ansietas dan ketidaknyamanan dikontrol dengan berbagai pendekatan. Latihan isometrik dan setting otot diusahaka untuk meminimalkan atrifi disuse dan meningkatkan peredaran darah. Pengembalian brtahap pada aktifitas swemula diusahakan sesuai dengan batasan terapeutik.
6.  Faktor yang mempengaruhi penyembuhan fraktur.
â  Imoblisasi fragmen tulang
â  Kontak fragmen tulang maksimal
â  Asupan darah yang memadai
â  Utrisi yangbaik
â   Latihan pembebanan untuk tulang panjang
â  Hormon-hormonn pertumbuhan , tiroid, kaisitonon, vitamin D, steroid dan anabolik
â  Potensial listrik pada patahan tulang
7. Faktor yang menghambat penyembuhan tulang
â  Trauma lokal ekstensif
â  Kehilangan tulang
â  Imoblisasi tak memadai
â  Rongga atau ajaringan diantara fragmen tulang
â  Infeksi
â  Keganasan lokal
â  Penyakit tulang metabolik (paget)
â  Tadiasi tulang (nekrosis radiasi)
â  Nekrosis evakuler
â  Fraktur intraartikuler (cairan senovial mengandung fibrolisin, yang akan melisis bekuan darah awal dan memperlambat pertumbuhan jendalan)
â  Usia (lansia sembuh lebih lama)
â  Kartikusteroid (menghambat kecepata perbaikan

f.Perawatan Pasien Fraktur tertutup
Pasien dengan fraktur tertutup harus diusahakan untuk kembali kepada aktifitas biasa sesegera mungkin. Penyembuhan fraktur dan pengembalian kekuatan penuh dan mobilitas memerlukan waktu berbulan-bulan. Pasien diajari mengontrol pembengkakan dan nyeri, mereka didorong untuk aktif dalam batas imoblisasi fraktur, pengajaran pasien meliputi perawatan diri, informasi obat-obatan, pemantauan kemungkinan potensial masalah, dan perlunya supervisi perawatan kesehatan.
g.Perawatan Pasien Fraktur Terbuka
Pada fraktur terbuka (yang berhubungan luka terbuka memanjang  sampai ke permukaan kulit dan ke daerah cedera tulang) terdapat resiko infeksi-osteomielitis, gas gangren, dan tetanus. Tujuan penanganan adalah untuk meminimalkan kemungkinan infeksi luka, jaringan lunak da tulang untuk mempercepat penyembuhan jaringan lunak dan tulang. Pasien dibawa ke ruang operasi, dilakukan usapan luka, pengangkatan fragmen tulang mati atau mungkin graft tulang.
h.  Komplikasi Fraktur
a.  Komplikasi awal
     Komplikasi awal setelah fraktur adalah :
      -  syok , yang bisa berakibat fatal setelah beberapa jam setelah cidera;
      -  emboli lemak;
      - dan sindrom kompartemen yang bisa berakibat kehilangan fungsi ekstimitas permanen   jika tidak segera ditangani.
Komplikasi awal lainya yang berhubungan dengan fraktur adalah infeksi, tromboemboli, (emboli paru), dan juga koagulapati intravaskuler diseminata (KID)
  1. Komp1ikasi lambat
Komplikasi lambat yang dapat terjadi setelah fraktur dan dilakukan tindakan adalah :
    -  Penyatuan terlambat atau tidak ada penyatuan dapat dibantu dengan stimulasi elektrik osteogenesis karena dapat mamodifikasi lingkungan jaringan membuat bersifat elektronegatif sehingga meningkatkan deposisi mineral dan pembentukan tulang.
  -   Nekrosis evaskuler tulang terjadi bila tulang kehilangan asupan darah dan mati.
  -   Reaksi terhadap alat fiksasi internal.
     
i.  Fraktur Klavikula.
      Fraktur klavikula merupakn cedra yang sering terjadi karena jatuh atau akibat hantaman langsung ke bahu. Cedra kepala yang menyertai sering terjadi bersama dengan fraktur ini.
      Klavikula membantu mengangkat bahu ke atas, ke luar, dan ke belakang  thoraks. Maka, bila klavikula pata, apsien akan terlihat bdalam posisi melindungi bahu jautuh ke bawah dan mengimobilisisi lengan untuk menghindari gerakan bahu. Tujuan penangannya adalah menjaga bahu tetap dalam posisi normalnya denagn cara reduksi tertutup dan imobilisasi.
      Lebih dari 80% fraktur ini terjadi pada sepertiga tengan atai proksimal klavilkula. Modifikasi spika bahu (gips klavikula) tau balutan berbentuk angka delapan dapat dipergunakan untuk mereduksi fraktur ini, menarik bahu ke belakang dan mempertahankannya dlam posisi ini. Fraktur sepertiga distal klavikula tanpa pergeseran dan terpotongnya ligamen dapa ditangani dengan sling dan perbatasan gerakan lengan. Bila fraktur sepertiga disatal disertai denagn terputusnya ligamen korakoklavikula akan terjadi pergeseran yang harus ditangani dengan reduksi terbuka dan fikasasi interna.
      Komplikasi fraktur klavikula meliputi trauma saraf pada pleksus brachialis, cedera vena atau arteria subklavia akibat fragmen tulang dan malunion (penyimpangan penyatuan).
Penanganan.
Pendidikan pasien dan pertimbangan di rumah, pasien diingatkan untuk tidak menaikan lengan lebih tinggi dari bahu sampai ujung patahan tulang mengalami penyatuan ( sekitar 6 minggu), namun didorong untuk melakukan latiahan siku, pergelangan tangan dan jari-jari untuk mencapai gerakan bahu yang sempurna. Aktivitas berlebihan harus dibatasi sampai selama 3 bulan.

Senin, 29 Juni 2015

INFO PENYAKIT: ASMA BRONKHIAL


PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
            Asma merupakan penyakit familier, diturunkan secara poligenik dan mulfifaktoral. Telah ditemukan hubungan antara asma dan lokus histokompatibilitas ( HLA ) dan tanda genetik pada molekul imunoglobulin G (IgG).
            Kira – kira 2 – 20 % populasi anak dilaporkan pernah menderita asma. Belum ada penyelidikan menyeluruh mengenai kejadian asma pada anak di Indonesia,namun diperkirakan berkisar antara 5 – 10 %. Dilaporkan di beberapa negara angka kejadian asma meningkat, misalnya di Jepang, Melbourne, dan Taiwan. Di Poliklinik Sub Bagian Paru Anak FKUI – RSCM Jakarta, lebih dari 50% kunjungan merupakan penderita asma. Jumlah kunjungan Poliklinik Sub Bagian Paru Anak berkisar antara 12.000 – 13.000 atau rata – rata 12.324 kunjungan per tahun. Pada tahun 1985 yang perlu mendapat perawatan karena serangan asma yang berat pada 5 anak, 2 anak diantaranya adalah pasien poliklinik paru. Sedangkan yang lainnya dikirim oleh Dokter luar. Tahun 1986 hanya terdapat 1 anak dan pada tahun 1987 terdapat 1 anak yang dirawat karena serangan asma yang berat.







BAB II
ASMA

A.    PENGERTIAN
1.         Asma adalah suatu penyakit yang disebabkan  oleh keadaan saluran nafas yang sangat peka terhadap berbagai rangsangan, baik dari dalam maupun luar tubuh. (Abidin, M. Angela C.M Nusatya, 2002)
2.         Asma adalah penyakit paru yang didalamnya terdapat obstruksi jalan nafas, inflamasi jalan nafas, dan jalan nafas yang hipersponsif atau spasme otot bronchial. (Betz, Cecily L, 2002)
3.         Asma disebut juga sebagai Reaktive Airway Disease ( RAD ) adalah suatu penyakit obstruksi jalan nafas secara reversible yang ditandai dengan bronchopasme, inflamasi dan peningkatan reaksi jalan nafas terhadap berbagai stimulan. ( Suriadi, 2001 )
4.         Asma adalah penyakit paru dengan ciri khas yakni saluran nafas sangat mudah bereaksi terhadap berbagai rangsangan atau pencetus dengan manifestasi berupa serangan asma. ( Ngastiyah, 1997 )
5.         Asma adalah merupakan penyakit dengan karakteristik meningkatnya reaksi trakhea dan bronkus oleh berbagai macam pencetus disertai dengan timbulnya penyempitan luas saluran nafas bagian bawah yang dapat berubah – ubah derajatnya secara spontan ayau dengan pengobatan.

B.     ETIOLOGI
Menurut Ngastiyah ( 1997 ), faktor predisposisi dari asma adalah :
1.         Alergi
Macamnya : debu rumah, bulu binatang, serpihan kayu, spora jamur.
2.         Iritasi
Macamnya : hair spray, minyak wangi, obat nyamuk semprot, asap rokok, bau tajam dari cat dan polutan lainnya, iritasi hidung dan batuk dapat juga mencetuskan asma.

3.         Cuaca
Perubahan tekanan udara, perubahan suhu udara, angin dan kelembaban udara, dihubungkan dengan percepatan dan terjadinya serangan asma.
4.         Infeksi
Biasanya infeksi virus, terutama pada bayi dan anak. Virus yang menyebabkannya adalah Respiratory Syncytial Virus ( RSV ) dan virus para influenza. Kadang – kadang karena bakteri misalnya Pertusis dan Streptococcus, jamur misalnya Aspergillus dan parasit seperti Askarsis.
5.         Kegiatan jasmani
Kegiatan berat seperti berlari atau naik sepeda dapat memicu serangan asma. Bahkan tertawa dan menangis dapat menjadi pencetus.
6.         Infeksi saluran nafas
Infeksi virus pada sinus,baik sinusitis akut atau kronik dapat memudahkan terjadinya asma pada anak ( Rachelefsky dkk, 1987 ). Rhinitis alergika dapat memberatkan asma melalui mekanisme iritasi atau reflek.

Menurut Price dan Wilson
1.         Asma Ekstrinsik / alergi
Disebabkan oleh alergen seperti sebuk sari yang dihirup, bulu halus binatang, serpihan kayu.
2.         Asma Intrinsik / Idiopatik
Disebabkan oleh faktor pencetus yang jelas seperti latihan fisik, flu biasa, emosi sering timbul setelah usia 40 tahun, dan serangan timbul sesudah infeksi sinus hidung / pada percabangan trakheobronkhial.
3.         Asma Campuran
Terdiri dari komponen – komponen Ekstrinsik dan Intrinsik.





C.    TANDA DAN GEJALA
            Menurut klinikku.com ( 2006 ), tanda dan gejala klinis sangat dipengaruhi asma yang diderita. Bisa saja sang penderita asma tidak menunjukkan gejala yang spesifik sama sekali, dilain pihak juga ada yang sangat jelas gejalanya.
Tanda dan gejalanya :
1.         Batuk
2.         Dyspneu
3.         Wheezing
4.         Nafas dangkal dan cepat
5.         Hiperinflasi thorak ( dada seperti gentong )
6.         Ronkhi
7.         Retraksi di dinding dada
8.         Pernafasan couping hidung / penggunaan otot bantu pernafasan

D.    PATHOFISIOLOGI
            Pada stadium permulaan terlihat mukosajalan nafas pucat, terdapat oedema dan sekresi lendir bertambah. Lumen bronkus dan bronkiolus menyempit akibat spasme. Terlihat kongesti pembuluh darah, infiltrasi sel esinofil bahkan juga dalam sekret di dalam lumen saluran nafas. Bila serangan terjadi sering dan lama atau dalam stadium lanjut akan terlihat deskuamasi epithel, penebalan membran hialin basal, hiperplasi serat elastin, hiperplasi dan hipertrofi otot bronkus dan jumlah sel goblet bertambah. Kadang – kadang pada asma menahun atau pada serangan yang berat terdapat penyumbatan bronkus oleh mukus yang kental yang mengandung eosinofil.
            Seperti telah dikemukakan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya asma, sehingga belum ada patogenesis yang dapat menerangkan semua penemuan pada penyelidikan asma.
            Salah satu sel yang memegang peranan penting pada patogenesis asma ialah sel mast. Sel mast dapat terangsang oleh berbagai pencetus misalnya alergen, infeksi, dan lain – lain. Sel ini akan mengalami degranulasi dan mengeluarkan bermacam – macam mediator misalnya histamin, ‘ slow reacting substance or anaphylaxis ‘ ( SRS – A ), yang dikenal sebagai lekotrin, ‘ eoxinophyl chemotactic of anapphylaxis ‘ ( ECF – A ), ‘neutrophyl chemotactic lactor of anaphylaxis ‘ ( NCF – A ), ‘ platelet activating factor ‘ (PAF), bradikinin, enzim – enzim dan peroksidase. Selain sel mast, sel basofil dan beberapa sel lain dapat juga mengeluarkan mediator.
            Bila alergen sebagai pencetus maka alergen yang masuk ke dalam tubuh merangsang sel plasma atau sel pembentuk antibodi lainnya untuk menghasilkan antibodi reagenik, yang disebut juga imunoglobulin E ( Ig E ). Selanjutnya Ig E akan beredar dan menempel pada reseptor yang sesuai pada dinding sel mast. Sel mast yang demikian disebut sel mast yang tersensitisasi. Apabila alergen yang serupa masuk ke dalam tubuh , alergen tersebut akan menempel pada sel mast yang tersensitisasi dan kemudian akan terjadi degradasi dinding dan degranulasi sel mast. Mediator dapat bereaksi langsung dengan reseptor di mukosa bronkus sehingga menurunkan siklik AMP kemudian terjadi bronkokonstriksi. Mediator dapat juga menyebabkan bronkokonstriksi dengan mengiritasi reseptor iritant.
                                                                            
E.     KLASIFIKASI
Pembagian asma menurut Phelan dkk ( 1998 ) adalah sebagai berikut :
1.         Asma episodik yang jarang
       Biasanya terdapat pada anak umur 3 – 6 tahun, serangan umumnya dicetuskan oleh infeksi virus saluran nafas bagian atas. Banyaknya serangan 3 – 4 kali dalam 1 tahun. Lamanya serangan paling lama beberapa hari saja dan jarang merupakan serangan yang berat.
       Gejala – gejala yang timbul lebih menonjol pada malam hari. Mengi (wheezing) dapat berlangsung sekitar 3 – 4 hari. Sedangkan batuk – batuknya dapat berlangsung 10 – 14 hari, manifestasi alergi lainnya misalnya eksim jarang didapatkan pada golongan ini. Tumbuh kembang anak biasanya baik. Diluar serangan ditemukan kelainan. Waktu hari berminggu – minggu sampai berbulan – bulan. Golongan ini merupakan 70 – 75 % dari populasi asma anak.

2.         Asma episodik yang sering
Pada 2/3 golongan ini serangan pertama terjadi pada umur sebelum 3 tahun. Pada permulaan serangan berhubungan dengan infeksi saluran nafas akut. Pada umur 5 – 6 tahun dapat terjadi serangan tanpa infeksi yang jelas. Biasanya orang tua menghubungkan dengan perubahan udara, adanya alergen, aktivitas fisik dan stres. Banyak kasus yang tidak jelas pencetusnya. Banyaknya serangan 3 – 4 kali dalam 1 tahun dan tiap kali serangan beberapa hari dan beberapa minggu. Frekuensi serangan paling tinggi pada umur 8 – 13 tahun. Pada golongan lanjut kadang – kadang sukar dibedakan dengan golongan asma kronik atau persisten. Umumnya gejala paling jelek terjadi pada malam hari dengan batuk dan mengi yang mengganggu tidur.
       Pemeriksaan fisik di luar serangan tergantung pada frekuensi serangan kalau waktu antara serangan lebih 1 – 2 minggu, biasanya tidak ditemukan kelainan fisik. Hay feyer dapat ditemukan pada golongan ini eksim dapat ditemukan, tetapi lebih jarang bila dibandingkan dengan golongan asma kronik atau persisten, golongan ini merupakan 28 % dari populasi asma anak, dan pada golongan ini jarang ditemukan gangguan pertumbuhan.

3.         Asma kronik atau persisten
       Pada 25 % anak golongan iniserangan pertama terjadi sebelum umur 6 bulan, 75 % sebelum umur 3 tahun, 50 % anak terdapat mengi yang lama pada 2 tahun pertama dan pada 50 % sisanya serangannya episodik. Pada umur 5 – 6 tahun akan lebih jelas terjadinya obstruksi saluran nafas yang persisten dan hampir selalu terdapat mengi tiap hari. Pada malam hari sering terganggu oleh batuk mengi aktivitas fisik sering menyebabkan mengi. Dari waktu ke waktu terjadi serangan yang berat dan sering memerlukan perawatan Rumah Sakit.
       Terdapat juga golongan yang jarang mengalami serangan berat, hanya sesak sedikit dan mengi hampir sepanjang waktu. Setelah mendapat penanganan yang tepat biasanya baru disadari bahwa ada perbedaan dibandingkan sebelum mendapat penanganan. Anak dan orang tua baru menyadari mengenai asma pada anak itu serta permasalahannya. Obstruksi jalan nafas mencapai puncaknya pada umur 8 – 14 tahun, setelah biasanya terjadi perubahan.
       Pada umur dewasa muda 50 % dari golongan ini tetap menderita asma persisten. Jarang yang betul – betul bebas mengi pada umur dewasa muda.

F.     PEMERIKSAAN PENUNJANG
            Hasil yang didapat tergantung stadium serangan serta lamanya serangan serta jenis asmanya. Pada asma yang ringan dan sedang tidak ditemukan kelainan fisik diluar serangan.
            Pada inspeksi terlihat pernafasan cepat dan sukar, disertai batuk – batuk, kadang – kadang terdapat suara wheezing ( mengi ), ekspirium memanjang, pada inspirasi terlihat retraksi daerah supraklafikular, suprasternal, epigastrium dan sela iga. Pada asma kronik terlihat bentuk thoraks emfisematus, bongkok ke depan, sela iga melebar, diameter anteposterior thoraks bertambah.
            Pada perkusi terdengar hipersonor seluruh thoraks, terutama bagian bawah posterior. Daerah pekak jantung dan hati mengecil.
            Pada auskultasi mula – mula bunyi nafas kasar / mengeras, tapi pada stadium lanjut suara nafas melemah atau hampir tidak terdengar karena aliran udara sangat lemah. Dalam keadaan normal fase ekspirasi 1/3 – 1/2  dari fase inspirasi, pada waktu serangan fase ekspirasi memanjang. Terdengar juga ronkhi kering dan ronkhi basah serta suara lendir bila banyak sekali sekresi bronkus.
            Tinggi dan berat badan perlu diperhatikan dan bila mungkin juga hubungannya dengan tinggi badan kedua orang tua. Asma sendiri merupakan penyakit yang dapat menghambat perkembangan anak. Gangguan pertumbuhan biasanya terdapat pada asma yang sangat berat. Anak perlu diukur tinggi dan berat badannya pada tiap kali kunjungan. Karena perbaikan akibat pengobatan sering dapat dinilai dari perbaikan pertumbuhannya. Bentuk thoraks perlu diperhatikan untuk melihat adanya dada burung atau sulkus Harrison sebagai tanda obstruksi jalan nafas yang lama. Tanda ini hanya ditemukan pada asma yang berat dan menahun dengan pengelolaan asma yang tidak adekuat sebelumnya.
            Tanda – tanda yang berhubungan dengan tingkat obstruksi jalan nafas pada waktu pemeriksaan umumnya tidak atau kurang dapat dipercaya dan sangat tergantung pada kemampuan pengamat.
Hal yang lebih baik ialah mencari tanda – tanda yang berhubungan dengan hiperinflasi dada seperti misalnya hiperresonansi, retraksi subkostal, tarika trakhea dan tegangan otot – otot skalenus. Bentuk kuku jari seperti tabuh genderang jarang sekali didapat, bila ditemukan dapat menunjukkan kemungkinan adanya penyakit lain. Tiap anak perlu pemeriksaan fisik lengkap pada kunjungan pertama. Penting diperhatikan keadaan kulit saluran nafas bagian atas dan telinga.
Pemeriksaan lanjutan yang perlu dilakukan sebagai berikut :
1.    Uji faal paru
Pemeriksaan ini sangat berguna untuk menilai asma meliputi diagnosis dan pengelolaannya. Uji faal paru dikerjakan untuk menentukan derajat obstruksi, menilai hasil provokasi bronkus, menilai hasil pengobatan dan mengikuti perjalanan penyakit.
Pemeriksaan faal paru yang penting pada asma adalah PEFR, FEOI, PUC, FEVI / FVC. Uji faal paru tidak selalu mudah dilaksanakan, terutama pada anak di bawah umur 5 – 6 tahun. Sebaiknya tiap anak dengan asma di uji faal parunya pada tiap kunjungan. “ peak flow meter “ adalah yang paling sederhana, sedangkan dengan spirometer memberikan data yang lebih lengkap. Volume kapasitas paksa ( FVC ), aliran puncak ekspirasi (PEFR) dan rasio FEVI / FVC berkurang > 15 % dari nilai normalnya. Perpanjangan waktu ekspirasi paksa biasanya ditemukan, walaupun PEFR dan FEVI / FVC hanya berkurang sedikit. Inflasi berlebihan yang biasanya terlihat secara klinis akan digambarkan sebagai meningginya nilai total paru ( TLC ), isi kapasitas residu fungsional dan isi residu. Diluar serangan, faal paru tersebut umumnya akan kembali normalke4cuali pada asma yang berat. Uji provokasi bronkus dilakukan jika diagnosis masuk diragukan. Tujuannya untuk menunjukkan adanya hiperreaktivitas.
Uji provokasi bronkus dilakukandengan :
a.         Histamin
b.         Methacholin
c.         Beban lari
d.        Udara dingin
e.         Uap air
f.          Alergen
Yang paling sering dilakukan adalah cara 1, 2, dan 3. Hiperaktivitas positif bila PEFR, FEVI turun > 15 % dari nilai sebelum uji provokasi dan setelah diberi bronkodilator nilai normal tercapai lagi. Bila PEVR dan FEVI sudah rendah, dan setelah diberi bronkodilator naik > 15 % ini berarti hiperreaktivitas positif dan uji provokasi tidak perlu.
2.    Foto rontgen thoraks
Pemeriksaan ini perlu dilakukan dan pada foto akan tampak corakan paru yang meningkat. Hiperinflasi terdapat pada serangan akut dan pada asma kronik. Atelektasis juga sering ditemukan. Setiap anak penderita asma yang berkunjung pertama kalinya perlu di buat foto rontgen parunya. Foto ini dibuat terutama untuk menyingkirkan kemungkinan adanya penyakit lain. Foto perlu di ulang bila ada indikasi misalnya dugaan adanya pneumonia atau pneumotoraks. Rontgen foto sinus paranasalis perlu juga bila asmanya sulit terkontrol.
3.    Pemeriksaan darah eosinofil dan uji tuberkulin
Pemeriksaan eosinofil dalam darah, sekret hidung dan dahak dapat menunjang diagnosis asma. Eosinofil dapat ditemukan pada darah tepi, sekret hidung dan sputum. Dalam sputum dapat ditemukan kristal charcot – leyaden dan spiral curshman. Bila ada infeksi mungkin akan didapatkan pula lekositosis polimor fonukiens.
Uji tuberkulin penting bukan saja karena di Indonesia masih banyak tuberkulosis, tetapi juga karena kalau ada tuberkulosis dan tidak diobati, asmanya pun mungkin sukar di kontrol.
4.    Uji kulit alergi imunologi
Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara goresan atau tusuk. Masing – masing cara mempunyai keuntungan dan kerugiannya. Alergen yang digunakan adalah alergen yang banyak terdapat di daerahnya. Hasil positif dapat di cocokkan dengan keadaan penderita sehari – hari. Bila ada hubungan yang jelas baru uji kulit tersebut berarti kedua cara uji kulit alergi tersebut dapat memberikan hasil positif palsu dalam presentasi kecil dan mempunyai kolerasi yang baik dengan Ig E beredar. Perlu diingat bahwa reaksi ini dapat ditekan dengan pemberian antihistamin.
Pemeriksaan Ig E atau kalau mungkin Ig E spesifik dapat memperkuat diagnosis dan menentukan pengelolaannya. Tetapi bila tidak ditemukan kelainan ini diagnosis asama belum dapat disingkirkan.
Uji alergi kulit berguna untuk menunjukkan alergen yang potensial sebagai pencetus. Hasil uji alergi kulit harus dihubungkan dengan keadaan klinis dan bila cocok itulah alergen penceus yang sesuai. Untuk menentukan hal itu, sebenarnya ada pemeriksaan yang lebih tepat, yaitu uji provokasi bronkus dengan alergen bersangkutan.


H.    PENCEGAHAN
            Penanggulangan asma pada anak sekarang yang lebih penting bukan mengatasi serangan, tetapi terutama ditujukan untuk mencegah serangan asma. Anak yang menderita asma harus dapat hidup layak serta tumbuh dan berkembang sesuai umurnya. Dengan demikian segala upaya penggunaan obat dan nonobat harus dinilai untung ruginya berdasarkan tujuan utama tadi atau dengan perkataan lain tidak lebih mengganggu tumbuh kembang anak. Tindakan – tindakan kita harus meningkatkan mutu kehidupan anak asma itu untuk sekarang dan masa depan.
Pencegahan serangan asma terdiri atas :
Cara menghindari berbagai pencetus serangan asma perlu diketahui dan diajarkan kepada anak serta keluarga. Debu rumah merupakan faktor pencetus yang sering dijumpai pada anak. Debu rumah biasanya mengandung tepung sari rumputan, pohon dan belukar disekitar rumah yang dibawa oleh angin masuk kedalam rumah. Debu rumah juga mengandung serpih atau rontokan kulit, bulu hewan peliharaan, ludah binatang peliharaan yang kering, rontokan pakaian, rontokan kain lainnya, hancuran koran, tembakau, abu rokok, dan sebagainya. Debu rumah juga mengandung serangga yang sudah mati, bakteri, jamur, sisa – sisa makanan yang telah lama. Tumpukan buku – buku koran yang telah lama dan mengandung debu tersebut mengandung banyak sekali alergen yang potensial dapat merupakan pencetus asma pada anak. Memang tidak mudah menghindarkan debu rumah. Untuk menghindari pencetus karena debu rumah dianjurkan dengan mengusahakan kamar tidur anak seperti di RS, ialah :
1.    Kasur tempat tidurnya dimasukan kedalam kantong vinil, dipasang resleting sehingga kasur terbungkus rapat dan debu tidak dapat masuk, kapuk tidak keluar, begitu juga bantalnya.
2.    Sprei, tirai, selimut sekurang – kurangnya dicuci 1 minggu sekali.
a.         Lemari rak dan lainnya dibersihkan dengan lap basah dan hanya dipakai menyimpan pakaian yang sering dicuci.
b.         Mebel di lap basah dan lantai dibersihkan setiap hari.
c.         Lebih baik tidak menggunakan karpet di kamar tidur dan kamar / tempat bemain anak.
d.        Lebih baik tidak memelihara binatang.
e.         Jangan menyimpan buku di kamar tidur anak.
f.          Pakaian yang ada di lemari walaupun sudah bersih jika sudah lama tidak dipakai supaya di cuci lagi, lemari di lap basah.
3.    Untuk menghindarkan penyebab dari makanan, bila belum diketahui pasti, lebih baik anak yang asma makan coklat, kacang tanah atau makanan yang mengandung coklat atau minum es. Perlu diperhatikan pula apakah asma timbul setelah anak memakan makanan yang mengandung zat pengawet atau pewarna makanan.
4.    Yang perlu diperhatikan :
a.         Hindarkan anak kontak dengan orang dewasa yang sedang menderita infuenza / pilek.
b.         Bila batuk atau bersin harus menutup mulut dan hidungnya.
c.         Hindarkan anak berada di tempat yang sedang terjadi perubahan udara.
Anak yang menderita asma tidak dilarang bermain – main atau olahraga, bahkan dianjurkan tetapi perlu diatur karena itu merupakan kebutuhan untuk tumbuh kembang anak. Hanya caranya di awasi dan diatur sebagai berikut :
a.         Menambah toleransi secara bertahap, menghindarkan percepatan gerak yang mendadak, mengalihkan macam kegiatan misalnya dari lari ke naik sepeda.
b.         Bila mulai batuk – batuk istirahatlah sebentar, minum air dan setelah tidak batuk lagi, kegiatannya diteruskan.
c.         Adakalanya beberapa anak sebelum melakukan kegiatan perlu minum obat atau menghirup aerosol lebih dahulu.
Obat – obatan asma pada anak ( pada saat serangan / pencegahan ), meliputi :
a.         Bronkodilator : adrenalin, orsiprenalin, terbutalin fenoterol.
b.         Kortikosteroid : prednison, hidrokortison, deksametason.
c.         Mukolitik : banyak minum air.
Cara pemberian sesuai petunjuk masing – masing.
Obat – obatan yang disebutkan itu diberikan jika sedang mendapat serangan.
Obat untuk pencegahan serangan asma antara lain :
a.         Bronkodilator
b.         Kortikosteroid
c.         Ketofilen ( zaditen )
d.        DSCG ( intal )
e.         Mukolitik
Obat pencegahan harus terus diberikan walaupun sedang tidak mendapat serangan.


I.       KOMPLIKASI
1.    Status asmatikus
2.    Bronkhitis kronik, bronkiolitis, pneumonia
3.    Emfisema kronik
4.    Korpulmonal dengan gagal jantung kanan
5.    Atelektasis
6.    Pneumotoraks
7.    Kematian
8.    Mengancam pada keseimbangan asam basa dan gagal nafas

J.      PENATALAKSANAAN
1.    Medis
Asma dapat sedang tenang atau tidak sedang ada serangan, tetapi juga dapat dalam keadaan serangan dan serangan tersebut dapat ringan, sedang atau berat. Kadang bahkan dapat jatuh dalam keadaan status asmatikus, yakni serangan asma yang berat yang biasanya diatasi dengan obat dapat menolong. Kali ini tidak dapat lagi. Serangan demikian beratnya hingga dapat mengancam jiwa anak. Oleh karena itu, anak perlu dirawat di RS.
Serangan asma yang ringan biasanya cukup diobati dengan obat bronkhodilator, oral, atau aerosol bahkan yang ringan sekali tidak memerlukan pengobatan. Serangan asma yang sedang dan akut perlu pengobatan yang cepat kerjanya. Misalnya bronkhodilator aerosol atau bronkhodilator subkutan, adrenalin. Bila pada serangan ringan akut tidak diperlukan kortikosteroid, pada serangan ringan kronik atau sedang perlu tambahan kortikosteroid disamping bronkhodilator. Pada serangan sedang perlu O2.
Serangan asma yang berat bila gagal dengan bronkhodilator aerosol oral atau subkutan dan kortikosteroid perlu teofilinum ( teofilin ) intravena dan koreksi penyimpanan asam basa serta elektrolit. Oksigen sangat penting untuk pasien ini, keadaan pasien yang demikian memerlukan perawatan di RS.
Penanggulangan status asmatikus :
a.         Serangan akut dengan oksigen nasal atau masker
b.         Terapi cairan
Periksa keadaan gas darah dan pasang IVED ( infuse ) dengan cairan 3:1 glukosa 10 % dan NaCl 0,9 % + KCl 5 mEg 1 kolt.
1)        Koreksi kekurangan cairan
2)        Koreksi penyimpangan asam basa
3)        Koreksi penyimpangan elektrolit
c.         Terapi pengobatan sesuai program
1)   Albuterol ( proventil ventolin )
Dengan pemberian oksigen dosis oral 0,1 mg / kg setiap 8 jam, nebulizer 0,15 mg 1kg per dosis dalam 2 ml normal salin, inhalasi 1 atau 2 hisapan setiap 4 – 6 jam.
Efek samping : tachycardia, palpitasi, pusing kepala, mual, dysrhytmia, tremor, hypertensi, dan insomia.
2)   Terbutalin
Dosis :
·           Usia 2 – 6 tahun 0,15 mg /kg 3 X sehari
·           Usia 6 – 14 tahun 2 mg /kg, 3 X sehari
·           14 tahun dan dewasa 2 – 6 mg / kg, 3 X sehari
Inhalasi 1 atau 2 hisapan setiap 4 – 6 jam, nebulizer 0,5 – 15 mg setiap 4 – 6 jam.
Efek samping : tachycardia, pusing kepala, tremor, mual dan insomia.
3)   Metaprotenol
Dosis :
0,3 – 0,5 mg /kg per dosis setiap 6 – 8 jam, maksimum 20 mg per dosis.
Efek samping : tachycardia, palpitasi, pusing kepala, mual, muntah, lemah, tremor, hypertensi, dan mulut rasanya tak enak.


4)   Bronkhodilator
Dilatasi bronkus dan bronkiolus, mengurangi bronkopasme dan meningkatkan bersihan jalan nafas.
5)   Theophylline ethylenediamine ( aminophyline )
Dosis :
·           Pada klien tanpa theophylline, dosis 6 mg / kg dan melalui intravena
·           Usia 6 – 9 tahun 1,0 – 1,2 mg / kg / jam
·           Usia 9 – 12 tahun 0,9 – 1,0 mg / kg / jam
·           Usia 12 – 16 tahun 0,6 – 0,7 mg / kg / jam
d.        Usaha pengenceran lendir dengan obat mukolitik untuk lendir yang banyak dan lengket di seluruh cabang – cabang bronkus.
e.         Periksa foto thoraks.
f.          Lakukan pemeriksaan EKG.
Pantau tanda vital secara teratur agar bila terjadi kegagalan pernafasan dapat segera tertolong, bila perlu dirawat di ICU.

2.    Keperawatan
Perawatan pasien asma ditujukan kepada :
a.         Bila pasien sedang tidak mendapat serangan asma
Perawatan ditujukan untuk mencegah timbulnya serangan asma dengan memberikan pendidikan kepada pasien sendiri / keluarganya. Mencegah serangan asma dengan jalan menghilangkan faktor pencetus timbulnya serangan.
Pendidikan tersebut mengenai :
1)   Pasien / orang tua harus mengenal tanda akan terjadi serangan asma.
Cara memberikan obat bronkhodilator sebagai pencegahan bila dirasakan anak akan mengalami serangan asma. Apakah dengan aerosol / semprot / oral, dam sebagainya serta mengetahui obat mana yang masih efektif bilaanak mendapat serangan.
2)   Mencegah serangan asma dengan menghilangkan faktor pencetus, misal debu rumah, bau yang merangsang dan sebagainya. Sedangkan ke orang tua pasien perlu diberi penjelasan tentang pentingnya selslu sedia obat baik untuk pencegahan maupun serangan. Untuk pencegahan mungkin dokter memberikan obat misalnya ketolifen yang harus diminum dalam jangka waktu tertentu atau segera diberikan begitu terlihat anak akan mendapat serangan.
Selain itu orang tua perlu memperhatikan hal sebagai berikut :
1)   Menjaga keserasian keluarga agar tidak menimbulkan masalah psikologis bagi anak.
2)   Menjaga kesehatan anak dengan memberi makanan yang cukup bergizi tetapi menghindari makanan yang mengandung alergen bagi anaknya.
3)   Kapan anak harus di bawa konsultasi. Persediaan obat tidak boleh sampai habis. Lebih baik jika obat tinggal untuk 1 – 2 kali pemakaian anak sudah dibawa kontrol ke dokter. Atau jika anak ada batuk / pilek walaupun belum terlihat sesak nafas harus segera di bawa berobat.
4)   Ikut melaksanakan / mengawasi kegiatan anak dalam batas – batas yang ditemukan oleh dokter, misalnya dalam hal olah raga atau kegiatan bermain bagi pasien asma berat perlu di batasi ( tidak boleh terlalu capek ).
5)   Kepada anak sendiri diberitahukan apa yang boleh ia lakukan dan yang tidak. Juga jika telah terasa akan mendapat serangan agar segera minum obat, tanpa menunggu orang tua mengambilkannya.